Kegiatan hajat lembur, menjadi semacam ajang pesta masyarakat desa yang selalu ditunggu warganya. Sebab kegiatan tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang merasa menjadi bagian dari kehidupan di dalamnya dan merasa memiliki dan bertanggungjawab dalam menjaga adat istiadat budaya yang turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Seperti yang sering diadakan oleh kampung Cirangkong desa Cikeusal pada setiap tahunnya, bagi mereka Hajat Lembur adalah semacam ‘pengingat’ akan rasa syukur, dan penanda bahwa sampai hari ini, kehidupan masih berjalan dengan limpahan rezeki.
Meskipun menghadapi musim kemarau panjang, tak membuat warga Cirangkong enggan menyambut hajat lembur. Karena rasa syukur harus tetap ada, sebab rezeki bukan hanya berupa wujud, namun berbagai hal tentang kebahagiaan dan kemuliaan menjalani kehidupan. Yang menarik dalam perayaan Hajat Lembur Cirangkong adalah bagaimana cara masyarakat memaknai syukur panen. Kehadiran berbagai bentuk seni pertunjukan dan atraksi budaya tidak sebatas perayaan semata, namun setiap keseniannya memiliki nilai sejarah tertentu yang tidak lepas kaitannya dengan aktivitas leluhur dalam rutinitas kehidupannya, terutama dalam bertani.
Menurut Neneng Yanti, selaku peneliti dan salah satu penggagas Hajat lembur Cirangkong ini memaparkan bahwa zaman dahulu, beluk dalam membajak sawah dengan kerbau, malamnya hiburannya adalah terbang sejak dan terbang gebes, lalu untuk mengambil beras dari pesawahan menuju rumah dibawa dengan rengkong. Dahulu, aktivitas menumbuk beras sekarang justru menjadi ekspresi musikal yang disebut tutunggulan. Maka segala aktivitas kesenian tidak lepas dari aktivitas pertanian masyarakat. Neneng Yanti hanya ingin mengembalikan seni yang dulunya berasal dari masyarakat dan kembali lagi ke masyarakat. Selain dapat menarik wisatawan untuk berkunjung menikmati dan mengenal kebudayaan yang semakin terkikis, setidaknya banyak nilai positif dari suatu kebiasaan zaman dahulu, yaitu nilai kerjasama dan sebuah kebersamaan.
Add Comment